Arsitektur Eropa di Vihara Dharmakaya
European Architecture at the Dharmakaya Vihara
Jika
kebanyakan klenteng atau vihara identik memiliki gaya arsitektur khas China.
Vihara Dharmakaya yang terletak di ujung jalan antara Jl Siliwangi dan Suryakencana,
Bogor, ini memiliki perpaduan gaya arsitektur China-Eropa.
Gaya arsitektur China mulai masuk ke Indonesia melalui
pedagang serta imigran dari Tiongkok yang menyebar di Pulau Jawa. Mengutip dari
ayobandung.com, dalam buku History of Java karya Rafles, di tahun 1815
terhitun sekiar 94.441 orang Tionghoa yang tinggal berkelompok di kota-kota
pesisir Jawa. Leushuis dalam buku Panduan Jelajah Kota-kota Pusaka di
Indonesia juga mencatat bahwa tidak banyak sisa pemukiman orang Tionghoa saat
itu yang dapat ditemukan. Hal itu disebabkan karena kebanyakan dari mereka
menggunakan bahan bangunan yang tidak tahan lama.
Bangunan arsitektur Tiongkok yang sering ditemukan di
Indonesia biasanya dipengaruhi oleh tradisi kerakyatan Tionghoa yang lekat
dengan nilai-nilai kerja keras. Hal ini karena orang-orang Tionghoa yang
bermigrasi ke Indonesia rata-rata berasal dari kalangan pekerja yang ada di
provinsi Tiongkok Selatan. Berbeda dengan kondisi arsitektur yang ada di negara
Tiongkok asli. Pemukiman rakyat Tiongkok di Indonesia cenderung berkelompok
membentuk daerah pecinan.
Namun dengan sempat adanya peraturan Wijkenstelsel yang
menyebabkan rakyat Tionghoa tidak lagi tinggal di daerah pecinan. Bahkan beberapa
keluarga Tionghoa juga mulai terpengaruh untuk membangun rumah dengan perpaduan
arsitektur China-Eropa seperti melebarkan overstek pada atap untuk melindungi
bangunan dari sinar matahari dan air hujan dan membuat lubang-lubang angin di
atas pintu. Hal ini menyesuaikan dengan iklim tropis yang lembab di wilayah
Indonesia yang saat itu disebut Hindia Belanda.
Vihara Dharmakaya menjadi salah satu contoh perpaduan
arsitektur China-Eropa. Bangunan ini pada awalnya adalah sebuah tempat
peristirahatan yang didirikan oleh Tan Oen Giok, kemudian pada tahun 1914
bangunan ini dihibahkan kepada seorang biarawati bernama Tang Eng Nio sehingga
berubah alih fungsi menjadi sebuah tempat ibadah.
Sebelumnya tempat ibadah yang dipegang oleh Tan Eng
Nio adalah sebuah Gereja bernama dirinya sendiri. Kemudian setelah terjadi
perpindahan kepemilikan dari Tang Eng Nio ke anak angkatnya, bangunan ini
berubah fungsi menjadi sebuah kelenteng yang saat ini familiar dengan sebutan
nama Vihara Dharmakaya.
Keunikan bangunan yang menjadi ciri khas Vihara
Dharmakaya terletak pada sebuah menara kastil yang menyatu pada bangunan. Ciri
khas bangunan model Eropa lainnya terletak pada bentuk jendela, pintu dan
dinding-dinding rendah yang mengelilingi tangga di bangunan vihara. Selain itu
ornamen-ornamen khas Tiongkok juga terpampang jelas, sehingga menciptakan
percampuran model arsitektur yang sangat indah.
*translate*
If
most pagodas or monasteries are identical, they have a typical Chinese
architectural style. Dharmakaya Temple, which is located at the end of the road
between Jl Siliwangi and Suryakencana, Bogor, has a blend of Chinese-European
architectural styles.
Chinese architectural styles began to enter Indonesia
through traders and immigrants from China who spread across Java. Quoting from
ayobandung.com, in the book History of Java by Rafles, in 1815 there were
around 94,441 Chinese living in groups in the coastal cities of Java. Leushuis
in the book Guide to Exploring Heritage Cities in Indonesia also notes that not
many remnants of Chinese settlements at that time can be found. This is because
most of them use building materials that are not durable.
Chinese architectural buildings that are often found
in Indonesia are usually influenced by Chinese folk traditions which are
attached to the values of hard work. This is because the Chinese who migrated
to Indonesia on average came from workers in the South China province. In
contrast to the architectural conditions that existed in the original Chinese
country. Chinese settlements in Indonesia tend to form Chinatowns.
However, once the Wijkenstelsel regulation was in
place, the Chinese people no longer lived in the Chinatown area. Even some
Chinese families are also starting to be influenced to build houses with a
blend of Chinese-European architecture such as widening the overstek on the
roof to protect the building from sunlight and rainwater and making vents above
the door. This adapted to the humid tropical climate in the Indonesian region
which was then called the Dutch East Indies.
Dharmakaya Temple is an example of a fusion of
Chinese-European architecture. This building was originally a resting place
founded by Tan Oen Giok, then in 1914 this building was donated to a nun named
Tang Eng Nio so that it changed its function to become a place of worship.
Previously the place of worship held by Tan Eng Nio
was a church named himself. Then after the transfer of ownership from Tang Eng
Nio to his adopted son, this building changed its function to become a temple
which is currently familiar with the name Vihara Dharmakaya.
The uniqueness of the building which is the hallmark
of the Dharmakaya Temple lies in a castle tower that is attached to the
building. Another distinctive feature of European model buildings lies in the
shape of the windows, doors and low walls that surround the stairs in the
monastery building. Besides that, the typical Chinese ornaments are also
clearly displayed, thus creating a very beautiful mix of architectural models.
Komentar
Posting Komentar