Hadiah Dari Seorang Walisongo Untuk Masyarakat Tionghoa di Banten

 A Gift from a Walisongo for the Chinese Community in Banten

sumber: google

Vihara umumnya merupakan tempat ibadah untuk orang Buddha, Konghucu, dan bahkan Taoisme. Namun Vihara Avalokitesvara di Banten ini terbilang cukup unik, karena menurut sejarah vihara ini dibangun oleh seorang Walisongo.

Sunan Gunung Jati merupakan seorang Walisongo yang lahir dengan nama Syarif Hidayatullah atau Sayyid Al-Kamil. Sunan Gunung Jati dikenal dengan cara berdakwahnya yang khas, yaitu melalui pendekatan sosial-budaya di wilayah Baten dan Jawa Barat. Dengan harapan agama Islam akan lebih muda diterima oleh masarakat. Ia mengajarkan hal-hal seperti nilai ketaqwaan dan keyakinan, kedisiplinan, kearifan dan kebijakan, kesopanan dan tatakrama, dan kehidupan sosial.

Jika mendegar kata Walisongo, orang-orang pasti langsung terbesit agama Islam yang begitu kental di pikiran mereka. Namun Sunan Gunung Jati justru menunjukkan sikap toleransinya dengan membangun sebuah vihara di Jalan Tubagus Raya Banten, Kawasan Banten Lama, Kecamatan Kasemen, Kota Serang. Sampai saat ini Vihara Avalokitesvara menjadi salah satu bukti tinggina toleransi masyarakat di provinsi Banten. Hal ini ditunjukkan dari banyaknya pengunjung yang datang tanpa memandang suku bahkan agama manapun.

Vihara Avalokiesvara didirikan oleh Sunan Gunung Jati sebagai hadiah kepada para pengikut Putri Ong Tien. Saat itu pengembara asal Tiongkok tersebut singgah di Banten saat akan melakukan praktik dagang dari China ke Surabaya. Melihat tingginya peluang berdagang, maka rombongan Putri Ong pun akhirnya memutuskan untuk menetap lebih lama. Namun karena ada perbedaan ras dan agama, keberadaan mereka sempat dikecam warga Banten.

Saat itu Sunan Gunung Jati mengambil peran untuk memediasi sampai masyarakat sepakat bahwa rombongan asal China ini tidak akan berbuat macam-macam yang bersifat mengancam pribumi.  Oleh sebab itu, Putri Ong Tien akhirnya mau diajak untuk masuk ke Agama Islam dengan kesadarannya dan Sunan Gunung Jati menghadiahkan sebuah bangunan Klenteng dengan persetujuan warga Banten untuk para pengawal setia Ong Tien melaksanakan ibadah.

Vihara ini uga dinilai memiliki peran penting dalam penanganan wabah di wilayah Banten yang resahkan warga. Saat itu banyak warga di sana yang menjadi korban serangan massal wabah penyakit perut tersebut. Atas inisiatif para penganut di wihara, mereka melakukan ritual keagamaan sebagai upaya mengusir wabah secara spiritual. Berdasarkan catatan Buku Pemetaan Kerukunan Umat Beragama di Banten, wabah tersebut terjadi di Cirebon dan Banten sekitar tahun 1772-1773 dan 1805-1806.

Vihara Avalokitesvara memiliki nama lain, yaitu Klenteng Tri Dharma yang menggambarkan tiga agama yang melakukan kegiatan keagamaan di vihara ini. Dilansir dari lama Indonesia Kaya, saat ini kawasan tersebut menjadi cagar budaya di Provinsi Banten. Dengan fungsi lainnya sebagai kota wisata religi yang ramai di datangi warga saat hari libur.

 

 

*translate*

Monasteries are generally places of worship for Buddhists, Confucianists, and even Taoists. However, the Avalokitesvara Vihara in Banten is quite unique, because according to history this monastery was built by a Walisongo.

Sunan Gunung Jati is a Walisongo who was born with the name Syarif Hidayatullah or Sayyid Al-Kamil. Sunan Gunung Jati is known for his distinctive way of preaching, namely through a socio-cultural approach in the Baten and West Java regions. With the hope that Islam will be more easily accepted by society. He teaches things such as the value of piety and belief, discipline, wisdom and wisdom, politeness and manners, and social life.

If you hear Walisongo's words, people will immediately think of Islam, which is so thick in their minds. However, Sunan Gunung Jati actually showed his tolerance by building a monastery on Jalan Tubagus Raya Banten, Banten Lama Area, Kasemen District, Serang City. Until now the Avalokitesvara Monastery has become one of the proofs of the high tolerance of the people in Banten province. This is shown by the large number of visitors who come regardless of ethnicity or even any religion.

The Avalokiesvara Monastery was founded by Sunan Gunung Jati as a gift to Princess Ong Tien's followers. At that time the traveler from China stopped in Banten when he was going to carry out trade practices from China to Surabaya. Seeing the high trading opportunities, Princess Ong's group finally decided to stay longer. However, because there are differences in race and religion, their existence was criticized by Banten residents.

At that time, Sunan Gunung Jati took the role of mediating until the people agreed that the group from China would not do anything that threatened the natives. Therefore, Princess Ong Tien finally wanted to be invited to enter Islam with her awareness and Sunan Gunung Jati presented a temple building with the approval of Banten residents for Ong Tien's loyal bodyguards to carry out worship.

This monastery is also considered to have an important role in handling the epidemic in the Banten region which is troubling residents. At that time, many residents there were victims of the mass attack of the stomach disease epidemic. At the initiative of the adherents at the monastery, they perform religious rituals in an effort to spiritually expel the plague. Based on the records of the Mapping Book of Religious Harmony in Banten, the plague occurred in Cirebon and Banten around 1772-1773 and 1805-1806.

The Avalokitesvara Vihara has another name, namely the Tri Dharma Temple which describes three religions that carry out religious activities in this monastery. Reporting from the old Indonesia Kaya, this area is currently a cultural heritage in Banten Province. With other functions as a religious tourism city that is busy being visited by residents on holidays.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Klenteng Boen Tek Bio dan Tragedi 1998

Minggir-minggir, Game Ini Buat Orang PDKT Bukan Kaum Nolep

Klenteng Dengan Ikon Jembatan Ampera, Klenteng Dewi Kwan Im