Jadi Tempat Pengungsian Saat Kerusuhan Rasial di Tegal, Klenteng Tek Hay Kiong
Becomes a Refuge During Racial Riots in Tegal, Tek Hay Kiong Temple
sumber: google
Dibangun
pada tahun 1760, Klenteng Tek Hay Kiong sudah menjadi perjalanan sejarah warga keturunan
Tionghoa di Kota Tegal. Usia klenteng ini sudah sekitar 2,6 abad dan diyakini
sebagai salah satu klenteng tertua di Indonesia.
Beralamat di Kawasan Pecinan atau Jalan Gurami Kelurahan
Tegalsari, Kecamatan Tegal Barat, Kota Tegal. Klenteng ini menjadi saksi
perjalanan panjang masyarakat Tionghoa di kota Tegal. Termasuk interaksi yang antara
masyarakat Tionghoa dan masyarakat asli Tegal.
Chen Li Wei Dao Chang atau Pendeta Chen Li Wei mengatakan,
Klenteng Tek Hay Kiong dalam catatan, dibangun oleh kapitan pertama di Tegal
bernama Souw Pek Gwan, pada 1760. Hal ini juga tercatat dalam penelitian
Claudine Salmon, seorang sinolog senior berkebangsaan Prancis. Saat itu
klentang ini masih bernama Klenteng Cin Jin Bio. Dewa yang dipuja dari awal
juga masih sama Kongco Tek Hay Cin Jin atau dikenal dengan nama Kwee Lak Kwa.
Chen Li Wei menjelaskan, Klenteng
Tek Hay Kiong dari masa ke masa selalu menjadi pusat segala kegiatan bagi warga
keturunan Tionghoa di Tegal. Tidak hanya berfungsi sebagai tempat peribadatan.
Termasuk tempat untuk menyalurkan kegiatan sosial dan berinteraksi. Selain itu
sejak dulu warga dan semua organisasi masyarakat Tionghoa selalu dipusatkan dan
terkoordinir di klenteng.
Kebetulan klenteng ini menjadi
satu-satunya klenteng yang ada di Tegal. Menjadikan Klenteng Tek Hay Kiong ini
sebagai pusat kegiatan etnis Tionghoa. Chen Li Wei mengatakan, Kelenteng Tek
Hay Kiong bahkan dulu pernah menjadi tempat pengungsian korban kerusuhan
rasial, pada tahun 1950-an. Saat itu keturunan Tionghoa yang mengungsi
merupakan warga dari daerah Tegal, seperti Margasari Kabupaten Tegal dan
Bumiayu Kabupaten Brebes.
Akibat peristiwa itu, akhirna
dibuatkanlah kamp pengungsian yang kini menjadi gedung Sekolah THHK. Namun
sayang klenteng sempat sepi akibat peristiwa G30SPKI karena rasa takut yang
menghantui para penyembahyang untuk pergi keluar rumah. Tapi setelah beberapa
tahun kleteng berangsur-angsur kembali ramai.
Sementara saat terjadi kerusuhan Mei
1998, menurut Chen Li Wei, Tegal menjadi daerah yang cukup aman bagi masyarakat
keturunan Tionghoa. Saat itu kelenteng tetap buka seperti biasa. Dia ingat
betul, ada satu dua orang oknum yang mencoba menghasut dan memprovokasi warga
Kota Tegal. Tetapi untungnya masyarakat tidak terprovokasi.
*translate*
Built in 1760, the Tek Hay Kiong Temple has become a
historical journey for residents of Chinese descent in Tegal City. This pagoda
is around 2,6 centuries old and is believed to be one of the oldest pagodas in
Indonesia.
The address is in the Chinatown area
or Gurami Street, Tegalsari Village, West Tegal District, Tegal City. This
pagoda is a witness to the long journey of the Chinese community in the city of
Tegal. Including the interaction between the Chinese community and the indigenous
people of Tegal.
Chen Li Wei Dao Chang or Reverend
Chen Li Wei said, the Tek Hay Kiong Temple in the records, was built by the
first captain in Tegal named Souw Pek Gwan, in 1760. This was also recorded in
the research of Claudine Salmon, a senior French sinologist. At that time, this
kntang was still called the Cin Jin Bio Temple. The god who was worshiped from
the beginning is still the same Kongco Tek Hay Cin Jin or known as Kwee Lak
Kwa.
Chen Li Wei explained, the Tek Hay
Kiong Temple from time to time has always been the center of all activities for
people of Chinese descent in Tegal. Not only serves as a place of worship.
Including a place to channel social activities and interact. Apart from that,
since ancient times, residents and all Chinese community organizations have
always been centered and coordinated in the pagoda.
Incidentally this pagoda is the only
pagoda in Tegal. Making the Tek Hay Kiong Temple the center of ethnic Chinese
activities. Chen Li Wei said that the Tek Hay Kiong Temple was even a place of
refuge for victims of racial riots, in the 1950s. At that time, those of
Chinese descent who fled were residents from the Tegal area, such as Margasari,
Tegal Regency and Bumiayu, Brebes Regency.
As a result of this incident, a
refugee camp was created which is now the THHK School building. But
unfortunately the temple was deserted due to the G30SPKI incident because of
the fear that haunted the worshipers who had to leave their homes. But after
several years the pagoda gradually became crowded again.
Meanwhile, when the May 1998 riots
occurred, according to Chen Li Wei, Tegal was a fairly safe area for people of
Chinese descent. At that time the temple was still open as usual. He remembered
very well that there were one or two people who tried to incite and provoke the
residents of Tegal City. But fortunately the people were not provoked.
Sumber:
Komentar
Posting Komentar