Klenteng Dengan Ikon Jembatan Ampera, Klenteng Dewi Kwan Im
Temple with the Ampera Bridge Icon, Dewi Kwan Im Temple
Klenteng
ini merupakan tempat beribadah para warga Tionghoa. Bahkan klenteng yang
mempunyai ikon Jembatan Ampera sebagai ciri khasnya ini sudah berdiri sejak
tahun 1773 pada masa kerajaan bumi Sriwijaya.
Klenteng Chandra Nadi (Soei Goeat Kiong) Palembang, atau yang
lebih dikenal dengan nama Klenteng Dewi Kwan Im merupakan satu dari beberapa
kota di Indonesia yang memilikiakulturasi budaya lokal dengan budaya Tionghoa
yang cukup kental. Bisa dibilang klenteng ini adalah yang tertua di Palembang.
Jika dibandingkan dengan klenteng lainnya, klenteng Dewi Kwan Im lebih ramai di
datangi. Berbagai upacara keagamaan masyarakat Tionghoa juga digelar di
klenteng ini.
Klenteng yang terletak di Kampung 10 Ulu ini merupakan
pengganti dari Klenteng yang terbakar di kawasan 7 Ulu. Pendirian kelenteng
Dewi Pengasih diketahui berdasarkan tulisan cina yang terdapat pada papan di
atas pintu masuk klenteng yang menyebutkan pembangunan klenteng pada tahun 1839
M. Klenteng ini lebih tepatnya terletak dipinggir Sungai Musi, berjarak sekitar
100 meter dari sungai tersebut. Karena dulunya merupakan jalur lalu lintas di
bumi Sriwijaya pemberian nama Dewi Kwan Im pun memiliki makna tersendiri. Pembangunan
Klenteng di 10 Ulu ini karena adanya makam seorang Panglima Palembang keturunan
Tionghoa bernama Ju Sin Kong, atau yang biasa dipanggil Apek Tulong yang
beragama Islam.
Di sebelah barat klenteng terdapat pemukiman rumah-rumah cina
kuno dengan posisi berderet. Secara umum kelenteng Dewi Kwan Im masih
mempertahankan bentuk arsitektur cina yang kuat. Banyak peziarah yang datang
dengan harapan mendapat keberkahan atau bebas dari penyakit. Namun cerita ini
hanya dianggap legenda yang dipercaya oleh orang Tionghoa di Sumatra Selatan.
Klenteng ini digunakan untuk tempat ibadah tiga agama, yaitu Buddha, Konghucu
dan Taoisme.
Mengutip dari infosumsel.id saat berkunjung ke lokasi kita
akan disambut dengan aroma hio atau dupa. Dupa ini dipercayai sebagai salah
satu sarana penghubung ke Thien atau langit. Dimana Thien dijelaskan sebagai
Tuhan Yang Maha Esa. Hampir setiap tahunnya, klenteng ini paling ramai
dikunjungi pada saat tanggalan Tionghoa pada tanggal 1 (Ce It) dan 15 (Cap Go).
Namun, sayangnya tahun ini perayaan Cap Go Meh ditiadakan, sehingga perayaan
Imlek pun dilaksanakan sesederhana mungkin.
Sebagai tempat ibadah, Klenteng Dewi Kwan Im memiliki konsep
pemujaan terhadap Dewa atau Dewi dengan hirarki atau suatu pantheon tertentu.
Berdasarkan informasi dari pengurus, di Klenteng Dewi Kwan Im merupakan
penghormatan atau pemujaan terhadap Dewi Kwan Im sebagai Dewi utama. Di samping
itu terdapat pemujaan terhadap Sakya Muni Budha, Kwan Im Fukcu Avalokitesvara,
Me Lea Cuse, Thien Sang Sen Mu, Thi Kong, Boddhisatva Maitreya, Kuan Sen Ti
Cin, Pau Sen Tati, Chin Hua Niang Niang, Yen Lo Thian Che, Ho Ya Kong, buyut Culong.
Uniknya klenteng ini juga hanya buka di hari Sabtu dan Minggu
saja untuk beribadah.
*translate*
This
pagoda is a place of worship for Chinese citizens. Even the pagoda which has
the Ampera Bridge icon as its trademark has been established since 1773 during
the Sriwijaya kingdom.
The Chandra Nadi (Soei Goeat Kiong) Temple in Palembang, or
better known as the Dewi Kwan Im Temple, is one of several cities in Indonesia
that has a fairly strong acculturation of local culture with Chinese culture.
You could say this pagoda is the oldest in Palembang. When compared to other
temples, the Dewi Kwan Im temple is more crowded. Various religious ceremonies
of the Chinese community are also held at this pagoda.
The pagoda, which is located in Kampung 10 Ulu, is a
replacement for the one that was burned down in the 7 Ulu area. The
establishment of the Dewi Pengasih temple is known based on the Chinese writing
on the board above the entrance to the temple which mentions the construction
of the temple in 1839 AD. This temple is more precisely located on the banks of
the Musi River, about 100 meters from the river. Because it used to be a
traffic lane on Sriwijaya earth, giving the name Dewi Kwan Im also has its own
meaning. The construction of this temple at 10 Ulu was due to the tomb of a
Palembang Panglima of Chinese descent named Ju Sin Kong, or who is usually
called Apek Tulong who is a Muslim.
To the west of the pagoda there is a settlement of ancient
Chinese houses in a row. In general, the Dewi Kwan Im temple still maintains a
strong form of Chinese architecture. Many pilgrims come with the hope of
getting blessings or being free from disease. However, this story is only
considered a legend that is believed by the Chinese in South Sumatra. This
pagoda is used as a place of worship for three religions, namely Buddhism,
Confucianism and Taoism.
Quoting from infosumsel.id when visiting a location, we will
be greeted with the smell of incense or incense. This incense is believed to be
a means of connecting to Thien or the sky. Where Thien is described as God
Almighty. Almost every year, this pagoda is most visited during the Chinese
calendar on the 1st (Ce It) and 15th (Cap Go). However, unfortunately this year
the Cap Go Meh celebration was abolished, so the Chinese New Year celebration
was carried out as simply as possible.
As a place of worship, Dewi Kwan Im Temple has the concept of
worshiping a God or Goddess with a certain hierarchy or pantheon. Based on
information from the management, the Dewi Kwan Im Temple is a tribute or
worship of Dewi Kwan Im as the main Goddess. In addition, there is worship of
Sakya Muni Buddha, Kwan Im Fukcu Avalokitesvara, Me Lea Cuse, Thien Sang Sen
Mu, Thi Kong, Boddhisatva Maitreya, Kuan Sen Ti Cin, Pau Sen Tati, Chin Hua
Niang Niang, Yen Lo Thian Che, Ho Yes Kong, Culong's great-grandfather.
Uniquely, this pagoda is also only open on Saturdays and
Sundays for worship.
Sumber:
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbjambi/kelenteng-dewi-pengasih-chandra-nadisoei-goeat-kiong/
Komentar
Posting Komentar