Klenteng Pan Kho, Penyimpan Sejarah Kerajaan Pajajaran

Pan Kho Temple, Keeps the History of the Kingdom of Pajajaran 

sumber : google


Vihara Maha Brahma (Pan Kho Bio) merupakan klenteng tertua di Bogor. Klenteng ini menyimpan banyak sejarah peningalan Kerajaan Pajajaran. Dimana tempat ini juga merupakan tempat peristirahatan terakhir keluarga Kerajaan Pajajaran.

Terletak di tengah-tengah perkampungan padat penduduk Pulo Geulis, Kelurahan Babakan Pasar, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor. Mengutip dari TribunnewsBogor, Pemerhati Sejarah dan Budaya, Araham Halim mengatakan, Klenteng Pan Kho baru ditemukan kembali pada tahun 1703 di zaman penjajahan Belanda. Pemilihan tempat berdirinya klenteng ini pun tidak sembarangan.

Terdapat dua alasan mengapa orang Tionghoa membangun Klenteng Pan Kho di tempatnya saat ini. Alasan yang pertama karena lokasinya yang dianggap sakral. Hal ini karena adanya peninggalan batu besar yang dipercaya sebagai awal mula dijadikan tempat peristirahatan keluarga Kerajaan Pajajaran. Alasan kedua dinilai stategis karena terletak di tepi sungai. Ketika itu, orang-orang dari Batavia menuju Buitenzorg (Bogor saat ini) menggunakan transportasi air, dan biasaya bermukim sementara di tepian sungai.

Jika umumnya klenteng di dominasi warna mera dengan ornamen naga. Klenteng ini tampil berbeda dengan payung geulis bersusun dua di bagian depan selah kanan dan kiri pintu. Payung ini melambangkan kebudayaan Sunda yang menggambarkan keberagaman di dalam satu naungan Bhineka Tunggal Ika. Tepat di dpan pintu masuk terdapat hiolo besar untuk menancapkan dupa ang dibakar.

Saat memasuki altar terlihat deretan patung para dewa termasuk Dewa Pan Kho yang terletak di tengah dan paling atas. Hal ini karena Dewa Pan Kho merupakan tuan rumah dan menjadi dewa tertinggi di klenteng ini. Di dalam klenteng uga terdapat payung bersusun tiga yang melambangkan segala skema manusia, menginjak bumi, menjunjung langit Tuhan Yang Maa Esa.

Pada sisi kanan terdapat sebuah patung Dewi Kwan Im yang mewakili kepercayaan agama Buddha. Dan pada sisi kiri terdapat sebuah batu besar khas peninggalan Megalitikum yang diselimuti kain hijau. Ketika pajajaran berdiri, batu ini dijadikkan monolit yang menjadi titik awal orang Tionghoa mendirikan tempat ibadah. Artefak ini dipercaya sebagai petilasan Embah Raden Mangun Jaya.

Masuk lebih dalam lagi ke bagian klenteng, terdapat ruang yang dipakai untuk umat Muslim untuk berziarah. Hal ini dikarenakan adanya dua buah batu besar yang dipercaya sebagai tempat peilasan dua tokoh penyebar agama Islam. Yaitu Raden Sake putra Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten dan Uyut Gebok salah satu petinggi dari kerajaan Padjajaran. Selain sebagai tempat berziarah, ruangan ini juga difungsikan sebagai mushala.

Kemudian di bagian samping luar klenteng, terdapat Makam Mbah Imam yang dikenal sebagai penyebar agama Islam di wilayah Bogor. Pada bilik yang lain, terdapat dua patung macan yang dibalut kain hitam, dianggap sebagai jelmaan Prabu Siliwangi yang melambangkan kegagahan, kejujuran, dan keberanian dari Prabu Siliwangi, Sri Baduga Maharaja. Kemudian ada pula Yoni untuk persembahan zaman masyarakat Pajajaran. Lalu ada patung kura-kura berdasarkan mitologi orang Tionghoa yaitu keuletan, ketekunan, dan panjang umur.

 

*translate*

Maha Brahma Vihara (Pan Kho Bio) is the oldest pagoda in Bogor. This pagoda holds a lot of historical heritage from the Kingdom of Pajajaran. Where this place is also the final resting place of the Pajajaran Royal family.

Located in the middle of the densely populated village of Pulo Geulis, Babakan Pasar Village, Central Bogor District, Bogor City. Quoting from TribunnewsBogor, Observer of History and Culture, Araham Halim said, Pan Kho Temple was only rediscovered in 1703 during the Dutch colonial era. The choice of the place for the establishment of this pagoda was not arbitrary.

There are two reasons why the Chinese built the Pan Kho Temple in its current location. The first reason is because of its location which is considered sacred. This is due to the existence of a large stone relic which is believed to be the beginning of being used as a resting place for the Pajajaran Royal family. The second reason is considered strategic because it is located by the river. At that time, people from Batavia headed for Buitenzorg (now Bogor) using water transportation, and usually lived temporarily on the banks of the river.

In general, the pagoda is dominated by red color with dragon ornaments. This pagoda looks different from the two-tiered geulis umbrellas on the front to the right and left of the door. This umbrella symbolizes Sundanese culture which depicts diversity under the auspices of Bhineka Tunggal Ika. Right in front of the entrance there is a large incense stick for burning incense.

Upon entering the altar, you can see a row of statues of the gods, including the god Pan Kho, which is located in the middle and at the very top. This is because God Pan Kho is the host and the supreme god in this pagoda. Inside the pagoda there is also a three-tiered umbrella which symbolizes all human schemes, stepping on the earth, upholding the sky of God Almighty.

On the right side there is a statue of Dewi Kwan Im which represents Buddhist beliefs. And on the left side there is a large stone typical of Megalithic heritage covered with green cloth. When the pajajaran stood, this stone was used as a monolith which was the starting point for the Chinese to build a place of worship. This artifact is believed to be the remains of Grandfather Raden Mangun Jaya.

Going deeper into the temple, there is a room used for Muslims to make pilgrimages. This is due to the existence of two large stones which are believed to be the place where two figures who propagated Islam spread the religion of Islam. Namely Raden Sake, the son of Sultan Ageng Tirtayasa from Banten and Uyut Gebok, one of the high-ranking officials from the Padjadjaran kingdom. Aside from being a place of pilgrimage, this room also functions as a prayer room.

Then on the outer side of the pagoda, there is the Tomb of Mbah Imam who is known as the propagator of Islam in the Bogor area. In the other room, there are two tiger statues wrapped in black cloth, considered to be the incarnation of King Siliwangi which symbolizes the bravery, honesty and courage of King Siliwangi, Sri Baduga Maharaja. Then there is also Yoni for the offerings of the Pajajaran people. Then there is the turtle statue based on Chinese mythology, namely tenacity, perseverance, and longevity.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berada di Kawasan Pecinan di Bandung, Inilah Vihara Satya Budi

Mengenal Ciri Khas Arsitektur Klenteng

Mengenal Sejarah Klenteng di Indonesia